Pernahkah kamu bertanya, kenapa di media sosial banyak orang asal percaya hoaks, mudah terprovokasi, atau jarang bertanya “kenapa” dan “bagaimana”? Atau, kenapa banyak setiap diskusi isinya hanya membicarakan orang lain, sering terjadinya salah paham tanpa logika yang dalam? Fenomena ini tidak lepas dari rendahnya kemampuan berpikir kritis dalam masyarakat. Menurut Taksonomi Bloom, sebagian besar masyarakat Indonesia masih berada di level paling dasar, yaitu level 1 pada tahap mengingat.
Tapi sebelumnya, apa sih Taksonomi Bloom itu?
Taksonomi Bloom adalah sebuah kerangka berpikir yang menggambarkan tingkatan kemampuan kognitif manusia, mulai dari yang paling sederhana hingga yang paling kompleks. Dalam versi revisinya, ada 6 level:
-
Mengingat (Remember)
-
Memahami (Understand)
-
Menerapkan (Apply)
-
Menganalisis (Analyze)
-
Mengevaluasi (Evaluate)
-
Mencipta (Create)
Level 1, "mengingat", artinya hanya mampu menghafal atau mengenali informasi, tanpa benar-benar memahaminya atau menggunakannya pada sesuatu yang baru.
Masalahnya: Kita Masih Sering Terjebak di “Mengingat”. Banyak orang Indonesia cara berpikir mereka belum diasah untuk naik ke level yang lebih tinggi. Mengapa bisa begitu?
Faktor Internal: Dari Dalam Diri Sendiri
1. Tidak Terbiasa Bertanya
Sejak kecil, banyak dari kita diajarkan untuk menurut, bukan mempertanyakan. Anak yang banyak bertanya sering dianggap merepotkan, menyusahkan atau bahkan dikatakan “tidak sopan”. Padahal, rasa ingin tahu adalah pintu masuk ke berpikir kritis.
2. Gaya Belajar yang Pasif
Kita dibiasakan belajar dengan cara menghafal. Hafal rumus, definisi, dan jawaban. Tapi tidak diajak memahami konsep, atau menerapkannya dalam situasi nyata.
3. Takut Salah
Berpikir kritis itu berisiko, karena bisa membuat kita berbeda. Banyak orang takut salah, takut disalahpahami, atau takut dianggap “sok pintar”. Akibatnya, lebih aman diam daripada berpikir dan bertanya.
Faktor Eksternal: Lingkungan yang Membentuk
1. Sistem Pendidikan berorientasi pada nilai
Sistem pendidikan kita masih sangat berorientasi pada hasil ujian. Sayangnya, banyak soal ujian hanya menguji hafalan, bukan kemampuan memahami, menerapkan, atau menganalisis.
2. Kurikulum yang Padat Tapi Dangkal
Kurikulum terlalu luas tapi tidak dalam. Akibatnya, guru terburu-buru menyelesaikan materi, tanpa sempat mengajak siswa berdiskusi, berpikir, atau mengevaluasi.
3. Budaya Sosial yang Sempit
Dalam banyak aspek kehidupan, kita terbiasa menerima pendapat dari yang dianggap lebih tua atau lebih tinggi tanpa banyak pertanyaan. Kritik sering dianggap tidak sopan. Diskusi dianggap debat.
4. Media yang Menyederhanakan Segalanya
Kita hidup di era headline dan viral. Banyak orang hanya membaca judul tanpa memahami isi. Media sosial lebih menyukai konten yang cepat, singkat, dan emosional, bukan yang kritis dan mendalam.
Lalu, Bagaimana Dampak Bahayanya?
Dampak bahayanya jika masyarakat Indonesia terjebak di level 1 Taksonomi Bloom (mengingat) bukan hanya soal kualitas pendidikan, tapi bisa menjalar ke masalah sosial, ekonomi, bahkan politik. Berikut penjelasan mendalamnya:
1. Mudah Terpengaruh Hoaks dan Disinformasi
-
Tanpa kemampuan menganalisis dan mengevaluasi, masyarakat cenderung percaya begitu saja pada informasi yang beredar, terutama yang viral, sensasional, atau emosional.
-
Ini menyebabkan penyebaran berita palsu, teori konspirasi, dan ujaran kebencian.
2. Rendahnya Daya Saing SDM
-
Dunia kerja saat ini tidak hanya membutuhkan pekerja yang bisa mengikuti instruksi, tapi yang bisa memecahkan masalah, berpikir kritis, dan mencipta solusi.
-
Jika masyarakat hanya mampu mengingat, kita hanya menghasilkan “tenaga” bukan “pemikir” atau “inovator”.
Akibatnya: Pendidikan, industri kreatif, teknologi, dan riset kalah bersaing secara global.
3. Rentan Dimanipulasi dalam Politik
-
Masyarakat yang tidak terbiasa mengevaluasi janji politik, program pemerintah, atau tindakan pejabat akan mudah dimobilisasi oleh propaganda.
-
Politik jadi soal pencitraan, bukan substansi. Demokrasi jadi dangkal.
Akibatnya: suara publik mudah dibeli atau diarahkan tanpa kesadaran kritis.
4. Diskusi Publik Jadi Bising tapi Dangkal
-
Kita sering lihat di media sosial atau TV: debat tanpa data, saling serang pribadi, tidak membahas inti masalah.
-
Ini karena banyak orang belum terbiasa berpikir sistematis dan logis. Yang penting "ramai", bukan "bermakna".
Akibatnya: masyarakat kehilangan ruang dialog yang sehat dan solutif.
5. Stagnasi Inovasi dan Riset
-
Negara yang kuat adalah negara yang berpikir. Tanpa kemampuan menganalisis dan mencipta, kita akan terus mengonsumsi teknologi dari luar tanpa mampu menciptakan sendiri.
-
Ide-ide segar tidak tumbuh karena masyarakat tidak terbiasa bertanya atau mengusulkan hal baru.
Akibatnya: ketergantungan pada negara maju dan ketertinggalan IPTEK.
6. Pendidikan Jadi Formalitas, Bukan Transformasi
-
Sekolah hanya jadi tempat menghafal, bukan tempat membentuk cara berpikir.
-
Siswa lulus tanpa keterampilan hidup yang nyata, seperti berpikir kritis, berkomunikasi efektif, dan memecahkan masalah.
Akibatnya: ijazah tinggi, tapi kompetensi rendah.
7. Lemahnya Toleransi dan Mudah Terpecah
-
Berpikir di level rendah cenderung hitam-putih (biner): benar vs salah, kita vs mereka.
-
Tanpa kemampuan menganalisis konteks dan memahami perspektif orang lain, masyarakat mudah terpolarisasi.
Akibatnya: konflik sosial, intoleransi, bahkan radikalisme.
Jika mayoritas masyarakat Indonesia hanya berada di level 1 Taksonomi Bloom, maka yang terjadi bukan hanya keterlambatan kemajuan, tapi juga kerapuhan sosial. Bangsa yang tidak terbiasa berpikir akan mudah diadu domba, dijajah ide, dan dikunci dari kemajuan.
Apa Solusinya? Bangun budaya berpikir: di rumah, sekolah, media, dan ruang publik. Masyarakat kritis adalah pondasi bangsa yang kuat.
Bagaimana Cara Naik Level?
Berpikir kritis bisa dilatih. Berikut beberapa langkah sederhana:
Mulai dari Bertanya, Jangan terima informasi mentah-mentah. Tanyakan: Apa buktinya? Siapa sumbernya? Apa alternatifnya?
Diskusi Sehat, Bukan Debat Kusir, Biasakan berdiskusi dengan argumen, bukan emosi. Dengarkan pendapat berbeda dan evaluasi dengan logika.
Latih Diri Membaca Kritis, Saat membaca berita, postingan, atau opini, coba analisis: apakah ada bias? Apakah datanya kuat? Apakah kesimpulannya masuk akal?
Buat, Jangan Hanya Konsumsi, Cobalah menulis opini, membuat solusi, atau menyusun ide baru. Dengan mencipta, kamu sudah berada di level tertinggi Taksonomi Bloom.
Masalah rendahnya kemampuan kognitif masyarakat Indonesia bukan soal IQ, tapi soal budaya berpikir. Kita terlalu lama berada di zona mengingat, dan belum terbiasa berpikir lebih dalam. Tapi kabar baiknya bahwa berpikir kritis itu bukan bakat, tapi keterampilan. Artinya bisa dilatih, diasah, dan dikembangkan oleh siapa saja.
Semua soal kemauan dan kesadaran. jika kita ingin masyarakat yang cerdas, tahan terhadap hoaks, dan mampu berinovasi, maka kita harus berani naik level dengan cara meningkatkan cara berpikir.
Mulai hari ini, ayo berlatih berpikir kritis!
Komentar
Posting Komentar