Langsung ke konten utama

Jangan dikit-dikit Bid'ah!


Dalam kehidupan beragama, istilah “bid’ah” sering menjadi bahan perdebatan. Seringkali, inovasi atau perubahan dalam masyarakat langsung dicap sebagai bid’ah, tanpa membedakan konteks yakni antara perkara agama (ibadah) dan duniawi. Padahal, Islam sebagai agama yang sempurna tetap membuka pintu bagi perubahan zaman selama tidak menyimpang dari prinsip-prinsip syariat.

Apa Itu Bid’ah?

Bid’ah (البدعة) berarti suatu perkara yang baru, baik menciptakan atau memodifikasi sesuatu yang telah ada sebelumnya. 

Namun dalam istilah syariat Islam, bid’ah adalah Segala hal baru dalam agama yang tidak memiliki dasar dari Al-Qur’an, Sunnah, atau ijma’ para sahabat. 

Pahami dengan baik hadits berikut,

عَنْ أُمِّ المُؤمِنِينَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللهُ عَنْهَا - قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : (مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ) رواه البُخارِيُّ وَ مُسلِمٌ، وفي رواية لـمُسلِمٍ (مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ).

Artinya: "Dari Ummul Mukminin Ummu Abdillah Aisyah radhiyallahu anha, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Barangsiapa yang membuat-buat hal yang baru dalam urusan kami (ibadah) yang tidak ada dasarnya dari agama maka perbuatan itu tertolak." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dalam salah satu riwayat Muslim disebutkan, "Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak memiliki dasar dalam agama kami maka amal itu tertolak".

Hadits ini menjadi dasar yang kuat bahwa dalam urusan ibadah, tidak boleh ada penambahan atau pengurangan yang tidak bersumber dari syariat. Seperti menambah rakaat shalat, mengatur dzikir dengan format baru tanpa dalil, atau menciptakan ritual ibadah baru termasuk dalam kategori bid’ah yang tertolak. Hal ini menegaskan pentingnya mengikuti tuntunan agama secara tepat dan berhati-hati dalam beribadah agar tetap sesuai dengan syariat.

Lalu Bagaimana dengan Modernisasi?

Inilah yang sering disalahpahami oleh sebagian orang tidak semua hal baru otomatis disebut bid’ah. Dalam Islam, hal-hal yang berkaitan dengan urusan dunia (muamalah) seperti teknologi, pendidikan, transportasi, dan manajemen tidak termasuk dalam kategori bid’ah syar’i. Bid’ah yang tercela hanyalah yang berkaitan dengan ibadah dan tata cara agama yang tidak memiliki landasan dari syariat.

Kaidah fikih menyebut: “Hukum asal sesuatu (duniawi) adalah mubah (boleh), kecuali ada dalil yang melarangnya.”

Jadi, menggunakan sepeda motor, mobil, mikrofon saat adzan, imam dan khutbah, atau belajar agama melalui aplikasi digital bukanlah bid’ah. Semua itu merupakan wasilah (sarana), bukan bagian dari ibadah itu sendiri. Bahkan, jika sarana tersebut membawa kemaslahatan besar bagi umat, penggunaannya bisa menjadi sesuatu yang dianjurkan, bahkan wajib.

Modernisasi yang Sejalan dengan Syariat

Islam adalah agama yang relevan sepanjang zaman. Di masa Nabi, mungkin belum ada teknologi digital. Tapi prinsip-prinsip Islam bisa menjawab tantangan zaman. Banyak 'ulama, termasuk seorang tokoh pahlawan nasional yakni KH. Ahmad Dahlan memperjuangkan pembaruan (tajdid), yakni berupa pemurnian dalam ibadah dari TBC dan modernisasi dalam lembaga pendidikan, sosial, dan kesehatan agar umat Islam di nusantara tidak tertinggal. Mereka berijtihad untuk menyelaraskan syariat dengan kebutuhan zaman, tanpa menyentuh inti ibadah yang tetap harus berdasarkan dari Al-Qur’an, Sunnah, atau ijma’ para sahabat.

Contoh modernisasi yang diperbolehkan dalam urusan agama:

  • Mikrofon di masjid → Mempermudah penyampaian khutbah.

  • Aplikasi digital pengingat shalat → Membantu umat menjalankan ibadah tepat waktu.

  • Transportasi Haji menggunakan pesawat terbang → Mempercepat perjalanan ibadah Haji.

Semua ini bukan bid’ah, karena tidak mengubah bentuk ibadah, hanya memperkuat pelaksanaannya pada sarana ibadahnya.

Bijak Menyikapi Perubahan

Bid’ah adalah konsep penting dalam menjaga kemurnian ibadah Islam, tetapi harus dipahami dengan bijak agar tidak menyempitkan ruang gerak umat. Inovasi duniawi bukan musuh agama, selama nilai-nilai Islam tetap menjadi pijakan.

Kemudian kenapa sih kata ‘bid’ah’ itu terasa sensitif, padahal itu bagian dari ajaran Islam?

Jawaban singkatnya: istilah “bid’ah” sering disalahgunakan, dibesar-besarkan, atau dipakai tanpa ilmu dan pemahaman yang benar, sehingga akhirnya memicu konflik di tengah umat.

“Bid’ah” bukanlah kata yang berkonotasi negatif. Karena bagian dari perangkat hukum Islam. Tapi ketika disalahgunakan, ia bisa merusak ukhuwah, dan menghambat kemajuan umatIngat, bukan kata “bid’ah” yang salah. Tapi cara sebagian orang memakainya yang menjadikannya terasa sensitif. Jadi jangan sembarangan berbicara tanpa memahami dengan benar apa yang dibicarakan!

Dengan memahami perkara ini dengan benar, kita dapat menjadi Muslim yang taat dalam beribadah sekaligus aktif berkontribusi dalam membangun peradaban. Islam bukanlah agama yang tertinggal di masa lalu, melainkan pedoman hidup yang relevan sepanjang masa. Dengan sikap yang seimbang antara keimanan dan ilmu pengetahuan, umat Islam dapat kembali melahirkan generasi emasnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tim Hebat itu Dibangun, Bukan Dilahirkan

Tua Itu Pasti, Dewasa Belum Tentu

Kerja Cerdas vs Kerja Keras