Langsung ke konten utama

Larangan Itu Mutlak, Perintah Itu Sesuai Dengan Kemampuan


Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali dihadapkan dengan aturan. Aturan dalam keluarga, dalam masyarakat, dalam negara, dan aturan dalam agama. Tapi pernahkah kita menyadari bahwa aturan dalam Islam memiliki pola yang penuh dengan hikmah?

Nabi kita Muhammad ﷺ memberikan petunjuk penting tentang bagaimana seharusnya kita menyikapi perintah dan larangan agama

Perhatikan dengan baik hadits berikut,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ صَخْرٍ رَضِيَ الله تَعَالَى عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: (مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ؛ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلافُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ). رواه البُخارِيُّ وَ مُسلِمٌ

Artinya: "Dari Abu Hurairah Abdurrahman bin Shakhr radhiyallahu anhu, beliau mengatakan, Saya mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Segala hal yang aku larang, jauhilah. Segala hal yang aku perintahkan, laksanakanlah semampu kalian. Sesungguhnya umat sebelum kalian itu binasa disebabkan mereka banyak bertanya dan berseberangan dengan nabi-nabi mereka." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Hadits ini tidak hanya berisi nasihat, tapi juga menjadi pondasi dalam memahami cara kerja syariat Islam.

Larangan Dalam Syariat Wajib Ditinggalkan!

Nabi ﷺ membuka hadits ini dengan mengatakan:
“Apa yang aku larang, maka jauhilah.”

Perhatikan, kata yang digunakan adalah “jauhi”, bukan “usahakan” atau “cobalah.” Ini artinya, larangan dalam Islam bersifat mutlak, tidak boleh didekati, apalagi dilakukan. Misalnya, larangan minum khamr, berjudi, korupsi, ghibah, dan sebagainya maka semua harus dijauhi, tidak ada negosiasi dan tidak ada toleransi.

Kenapa larangan lebih tegas? Karena meninggalkan sesuatu sebenarnya lebih mudah daripada melakukan sesuatu. seperti misalnya kalau kita dilarang minum racun, maka kita tinggalkan. Tidak perlu bertanya dan dengan mematuhi adanya larangan tersebut kita jadi selamat.

Bahkan dengan bersikap diam pun kita sudah menjalankan perintah larangan.

Perintah Dalam Syariat Dilaksanakan Sesuai Kemampuan

Berbeda dengan larangan, ketika Rasulullah ﷺ berbicara soal perintah, beliau menyampaikan:

“Dan apa yang aku perintahkan, lakukanlah semampu kalian.”

Nah, disinilah terlihat betapa penuh rahmatnya Islam. Allah dan Rasul-Nya tidak memaksakan ibadah yang di luar kapasitas hamba-Nya. Contoh nyata adalah sebagai berikut:

  • Shalat: Kalau tidak bisa berdiri karena sakit, boleh sambil duduk. Tidak bisa duduk? Boleh sambil berbaring. Bahkan dengan isyarat mata pun boleh.

  • Puasa: Jika sedang sakit atau dalam perjalanan jauh, boleh tidak puasa. Tinggal diganti di hari lain.

  • Haji: Hanya wajib bagi yang benar-benar mampu secara fisik, finansial, dan keamanan.

Hal ini sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

فَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ مَا ٱسْتَطَعْتُمْ 

Artinya: "Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu" (QS. At-Taghabun: 16)

Jangan Seperti Umat Sebelum Islam

Nabi ﷺ juga mengingatkan agar kita tidak mengikuti jejak umat sebelum kita, yang banyak bertanya dan menentang nabi-nabi mereka. Bukan bertanya untuk belajar, tapi bertanya untuk memperumit atau mencari celah agar bisa lepas dari kewajiban. Contoh nyata sebagaimana kisah yang diabadikan dalam QS. Al-Baqarah ayat 68-71. Yakni kaum Bani Israil ketika diperintahkan menyembelih sapi, mereka justru memperpanjang dengan bertanya detail, “Sapi yang bagaimana? Warna apa? Sudah dipakai kerja atau belum?” Padahal cukup sembelih saja sapi, selesai. Akhirnya? Mereka sendiri yang menyulitkan diri.

Bagaimana Sikap Seorang Muslim?

Dalam menyikapi perintah dan larangan syariat, seorang Muslim harus paham aturannya.

Jika Nabi  memerintahkan suatu amalan, kita wajib mentaatinya. Namun, Islam adalah agama rahmat dan hikmah, maka perintah itu dijalankan sesuai kemampuan.

Jika Nabi melarang sesuatu, maka tinggalkan sepenuhnya. Larangan tidak bisa dilakukan “sebagian” atau “sedikit-sedikit”.

Apa pun yang dikabarkan Nabi ﷺ tentang perkara gaib baik yang telah terjadi, sedang terjadi, maupun yang akan datang harus diyakini kebenarannya.

Seorang Muslim tidak boleh beribadah dengan cara-cara yang tidak dicontohkan Nabi ﷺ. Semua bentuk ibadah harus mengikuti sunnah.

Semakin kita memahami dan menerapkan empat sikap ini, semakin kokoh keislaman kita. Karena Islam bukan hanya diyakini di hati, tapi dijalani dengan tunduk dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya.

Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ ٱلْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا۟ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ

Artinya: "Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh". Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. An-Nur: 51)

Islam Itu Mudah, Tapi Jangan Seenaknya

Islam bukan agama yang memberatkan, namun bukan berarti kita bisa bersikap sembarangan. Keindahan Islam terletak pada keseimbangan antara ketegasan dalam larangan dan kelonggaran dalam perintah. Prinsip yang perlu diingat adalah: larangan dalam syariat bersifat mutlak dan wajib ditinggalkan secara total, sementara perintah bersifat proporsional dan dilakukan sesuai kemampuan masing-masing individu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tim Hebat itu Dibangun, Bukan Dilahirkan

Tua Itu Pasti, Dewasa Belum Tentu

Kerja Cerdas vs Kerja Keras